Sumber Kesaksian: Dwi Krismawan & Bethania Eden
Sejak kecil saya memang memiliki harapan. Saya memegang impian kelak kalau saya sudah besar saya ingin jadi pilot. Tiap kali ada pesawat yang lewat diatas rumah saya bilang : "Saya ingin jadi pilot!". Begitu besar harapan dan impian tersebut, saya nyatakan dalam mainan saya dimana saya mempunyai kolekasi berbagai macam model pesawat. Semakin lama harapan dan impian untuk menjadi seorang pilot menjadi semakin besar.
Tahun 1992 Dwi Krismawan diterima di Sekolah Tinggi Penerbangan Curug. Dengan bangga dan penuh harapan, ia menjalani hari-harinya untuk menjadi seorang pilot yang handal.
Setelah satu tahun saya menjalani sekolah penerbangan tersebut, tanggal 28 Januari 1997 dimana tinggal tiga bulan lagi saya akan diwisuda, jam 6 pagi dengan menggunakan pesawat jenis FG-10, saya dan instruktur terbang pada ketinggian sekitar 2000 kaki, menuju kota Jasinga Bogor.
Pagi itu cuaca kurang begitu bagus, tapi instruktur saya memaksakan untuk melanjutkan latihan. Ternyata hari itu adalah penerbangan saya yang terakhir. Tiba-tiba pesawat yang saya naiki menabrak punggung gunung Gede Jawa Barat.
Pesawat jenis FG-10 itu meledak dan hancur. Mengerikan sekali, kecelakaan ini mengakibatkan 50% tubuh Dwi terbakar.
Bethania Eden, yang kini menjadi istri Dwi mengenang musibah itu.
Pagi hari sebelum Dwi terbang, dia telepon saya sekitar jam 5 pagi. Dia janji akan telepon saya sekitar jam 8 pagi setelah di landing. Saya tunggu ternyata dia tidak telepon. Sekitar jam 10 pagi datang telepon yang memberitahu bahwa pesawat yang ia naiki bersama instrukturnya mendapat kecelakaan menabrak punggung gunung Gede. Statusnya saya tidak bisa bertemu dengan Dwi. Saya hanya mendengar kabar dari temannya bahwa kondisi Dwi kritis dan dia koma.
Sejak awal memang hubungan Dwi dan Bethania atau yang dipanggil Ibeth telah ditentang oleh orang tua Dwi karena perbedaan latar belakang keluarga. Oleh karena itu Ibeth tidak diperbolehkan untuk melihat keadaan Dwi.
Hari keempat saya jumpai dokter sudah mulai gelisah, mondar mandir dan orang tuanya menangis. Disitu saya mulai curiga apa yang terjadi di dalam. Saya satu-satunya orang yang tidak tahu kondisi dia didalam seperti apa. Saya hanya bisa tanya pada temannya, tapi temannya tidak mau memberitahu apa-apa karena setiap kali saya datang ke rumah sakit untuk menjenguk Dwi, setiap kali itulah saya menerima penolakan. Pertama mereka menganggap saya adalah pembawa sial dan saya tidak boleh dekat dengan anaknya. Pada saat itu saya sedih sekali, saya cuma bisa pergi ke kapel. Disitulah saya berkomitmen pada Tuhan. Saya katakan : "Tuhan jangan ambil kekasih saya. Tuhan kalau Engkau kembalikan dia kepadaku maka aku berjanji kepadaMu, apapun yang terjadi di depan, aku akan setia mendampingi dia selama-lamanya".
Mujizat terjadi menyertai nazar Ibeth.
Begitu saya selesai berjanji, pada saat itulah Dwi siuman. Dan pada saat dia siuman, tanpa dia sadari dia memanggil nama saya. Begitu saya lihat wajah dia saya kaget luar biasa. Saya hampir tidak bisa mengenali wajahnya itu.
Rupa dan tubuh Dwi hancur akibat musibah ini.
Tubuh saya mengalami cacat dimana akibat dari kecelakaan tersebut kepala saya rambutnya hampir tidak bisa tumbuh lagi semuanya, bulu mata maupun alis hilang, kedua kelopak mata tidak sempurna dan kedua daun telinga saya hilang. Jari-jari tangan saya mengalami kontraktur, karena terbakar kedua siku tangan atau tulang rawannya terbakar sehingga siku saya tidak bisa digerakkan. Dan tubuh saya mengalami luka parut maupun luka akibat terbakar.
Dengan keadaan yang parah seperti itu, Dwi harus menjalani 15 kali bedah konstruksi untuk mengembalikan bentuk tubuhnya yang rusak.
Ibeth tetap setia mendampingi Dwi.
Tahun 1999 saya mendapat kabar kalau Dwi akan dikeluarkan dari rumah sakit. Bukan karena sembuh, tapi karena biaya yang dibutuhkan sudah lagi tidak diberikan oleh pemerintah. Saya juga mendapatkan selentingan kabar kalau orang tuanya akan mengasingkan dia, mengisolasi dia. Saya tidak rela Dwi diperlakukan seperti itu. Saya datang pada orang tua saya, saya katakan bahwa saya akan menikah. Mereka 100% menolak dan tidak setuju punya menantu yang kondisinya seperti Dwi. Tapi saya bersikeras bahwa saya mau menikahi Dwi karena saya tidak mau dia dibawa ke daerah pedalaman itu. Pada akhirnya saya memberanikan diri datang pada orang tua Dwi dan disitulah saya melamar Dwi.
Walau ditentang berbagai pihak, Bethania bersikeras untuk dapat menikahi Dwi. Pada tanggal 17 Juli 1999, pasangan ini dipersatukan dalam sebuah pernikahan kudus.
Ternyata Dwi juga dilanda kebimbangan.
Dalam hati dan pikiran saya ada dua pilihan antara ya dan tidak. Dalam kondisi fisik seperti ini, bagaimana saya bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik, yang bisa menafkahi keluarga saya?. Ditolak, dikucilkan, disepelekan dan tidak dihargai itu semua adalah perasaan yang sangat menyakitkan. Pada saat itu saya berpikir pada saat orang memandang saya seperti itu maka saya adalah orang yang tidak berguna. Saya seolah berpikir bahwa saya adalah sampah yang tidak punya manfaat apa-apa.
Dalam keadaan itulah Ibeth bekerja menguatkan hidup Dwi.
Tapi satu hal yang saya syukuri pada saat itu Ibeth mengatakan bahwa masa depan ada di tangan Tuhan. Jawaban itu kembali menyegarkan dan menetramkan hati saya. Ada beberapa nasehat yang seringkali dia katakan : kalau kamu malu, kamu akan semakin terpuruk tetapi kamu harus belajar menerima kenyataan, belajar menerima apa yang telah terjadi dengan besar hati. Pada saat kamu bisa menerima apa yang sudah terjadi, itu adalah tahap selangkah lebih maju yang sudah kamu raih. Pada saat itu saya berpikir orang seperti saya akan sulit mendapatkan pekerjaan. Tapi satu hal yang luar biasa, satu saat ada tawaran untuk menjadi seorang sales satu asuransi.
Mulanya Ibeth merasa tawaran ini sebagai ejekan.
Saat itu tawarannya seperti mengejek yang bunyinya : "Pak Dwi, maukah menjadi seorang agen. Lucu kali yah kalau bapak jadi agen, kalau ada klien yang datang, kliennya pasti takut dan langsung kabur." Dwi sudah mulai down dibilang seperti itu, tapi saya bilang : "Dwi, pekerjaan apapun yang Tuhan titipkan pada kamu, kamu harus lakukan, dalam nama Tuhan maka kamu akan berhasil." Ternyata benar, dua bulan dikasih waktu mengumpulkan satu klien, tidak sampai dua bulan Tuhan membuka jalan dan dia bisa mengumpulkan klien 45 orang. Tahun 2003 dia bahkan menjadi the best agent disitu.
Rasa percaya diri Dwi secara perlahan pulih.
Rasa percaya diri yang muncul itu tidak datang seketika tetapi empat tahun setelah kecelakaan. Itu bukan waktu yang singkat. Satu hal yang saya yakin dan percaya bahwa Ibeth, kekasih saya yang sekarang sudah menjadi istri, dia adalah seorang penolong yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan saya. Mungkin kalau tidak ada Ibeth yang Tuhan kirimkan dalam hidup saya, mungkin saya menjadi orang gila, atau mungkin saya sudah bunuh diri atau mungkin punya sifat atau karakter tidak seperti saat ini.
Saat ini Dwi dan Bethania telah dikaruniai seorang anak. Dwi juga telah bekerja di sebuah perusahaan media cetak. Kini dia bahkan mengerti mengapa Tuhan mengijinkan dirinya menjadi "pilot lain", sesuatu yang diluar angan-angannya.
Dulu saya bercita-cita untuk menjadi seorang pilot yang membawa penumpang dari satu kota ke kota lainnya. Tetapi lewat proses kecelakaan, melalui apa yang saya alami ternyata Tuhan membuat saya menjadi seorang pilot, bukan pilot dunia, tetapi pilotnya Tuhan, karena pada saat saya mengambil bagian dalam pelayanan banyak jiwa dikuatkan, banyak jiwa yang telah jauh dari Tuhan bisa kembali kepada Tuhan. Dari gelap kepada terang, dari neraka menuju ke Surga.
Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. (Roma 8:37-39)
Sumber : V131009195932